Sehari di sekolah baru. Tapi, tak seorangpun yang aku kenal selain teman sebangku-ku. Aku memang tidak ingin mengenal maupun dikenal. Karena bagiku, mempunyai teman hanya bisa membuatku sedih di akhir. Aku tak ingin merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Cukup dengan seorang saja aku berpisah.
Aku terus berjalan lunglai ke arah gerbang sekolah. Di sana tampak banyak sekali murid yang berlalu-lalang.
“Hei, Cinta. Kamu mau pulang ya?.“ Tiba-tiba seseorang dari arah belakang mengagetkanku. “Ups, sory. Kamu kaget, ya?,” katanya sesaat setelah aku berbalik. “Oh, kamu. Ada apa?” Tanyaku setelah melihat orang yang berada di belakangku yang ternyata adalah teman sebangku-ku..
“Aku pengen ngajak kamu pulang bareng kalau kamu nggak di jemput.” Jawabnya berusaha ramah padaku. Aku hanya menatapnya dingin tanpa menjawab. “Ehm, sorry kalau kamu marah. Ya, udah. Aku balik duluan aja.” Katanya sesaat kemudian. “Eh, nggak, kok. Aku nggak marah. Aku seneng kamu ajak pulang bareng, tapi aku nggak mau ngerepotin.” Jawabku saat melihat reaksinya yang tiba-tiba merasa bersalah.
“Oh, nggak, kok. Aku justru seneng kamu ikut sama aku. Ibuku juga pasti nggak bakal ngelarang, kok. Kamu ikut, ya!” Tiba-tiba saja dia menjadi kembali semangat. “Ehm, ok, deh. Itung-itung irit ongkos.” Jawabku setelah berpikir-pikir. “Ok. Itu mobil Ibuku. Ayo!” Ajaknya setelah menunjukkan sebuah mobil sedan warna silver metalik yang baru saja terparkir di sudut jalan.
Selama perjalanan, dia terus saja menyuguhiku berbagai pertanyaan. Dia bertanya seakan-akan sudah sangat akrab denganku. Aku tak tahu apa yang kurasakan. Entah mengapa, aku merasa nyaman saat bersama dia. Dia anak yang baik, namanya Amalia tapi dia hanya ingin di panggil dengan sebutan Lia. Dia memakai jilbab. Jika dilihat, dia sangat anggun memakai jilbab itu. Jika dibanding denganku, sangat jauh beda. Aku sangat acak-acakan. Rambutku panjang memang, tapi setiap hari hanya ku kuncir kuda. Jika dilihat seperti gadis tak terurus. Bahkan banyak yang mengatakan kalau aku ini gadis tomboy.
* * *
Hari kedua di sekolah ini. Hanya Lia yang mau bergaul denganku. Aku sebenarnya lebih senang kalau tak ada seorangpun yang akrab denganku. Aku sangat tidak menginginkan perpisahan. Aku tidak mau ada kesedihan di saat aku harus kembali berpisah dari seorang teman.
Lia terus saja mengajakku ngobrol. Aku mulai berfikir untuk menjauhinya. Aku yakin kalau itu yang terbaik. Tapi, entah mengapa aku tak bisa menjauh darinya. Dia seperti seseorang yang sudah sangat kukenal.
Semakin kumencoba, semakin resah kurasa. Dan Lia, dia tak menyadari kalau aku sedang berusaha menjauh darinya.
“Ta, kamu nggak sholat?” Lia tiba-tiba bertanya padaku setelah dia memperhatikanku sejak kemarin tidak melaksanakan sholat Dhuhur di sekolah seperti murid muslim lainnya. “Ehm, itu, aku emang jarang sholat.” Jawabku lumayan gugup. Baru kali ini ada orang yang bertanya demikian padaku. Bahkan, Ayahku pun tidak pernah menanyakan hal ini padaku. ”Lho, kok gitu, sih? Kamu islam, kan?” Wajah Lia menjadi bingung setelah mendengar jawabanku. “Ya.” Jawabku singkat.
“Tapi, kenapa kamu jarang sholat. Bukannya sholat itu tiang agama? Dan ada hadits lho yang mengatakan kalau sholat kita bagus, maka bagus pula seluruh amalan kita. Dan jika sholat kita rusak, maka rusak pula seluruh amalan kita. Aduh, sory kalau kamu pikir aku berniat menceramahi kamu. Tapi, aku takut aja kalau hanya karena sholat kamu yang jarang, maka seluruh amal baik kamu juga jadi nggak baik.” Celoteh Lia seakan dia akan merasa berdosa kalau aku nggak sholat.
“Hm, aku terlalu banyak pikiran sehingga waktu untuk sholat jadi kurang.” Jawabku sambil mendesah. “Kamu jangan gitu, donk. Sholat itu harus ada waktu tersendirinya. Dan, tau nggak. Sholat itu membuat tenang jiwa. Jadi, kalau kamu lagi banyak pikiran, kamu sholat aja. Insya Allah otak kamu akan jadi lebih tenang. Ya, udah. Kamu pikirin aja yang terbaik untuk kamu. Pasti kamu juga bisa mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kamu mau ikut pulang bareng lagi nggak?” Ajak Lia setelah kembali berceloteh panjang lebar.
“Ehm, nggak usah, deh. Soalnya, aku mau singgah di toko dulu. Thanks, ya, atas nasihatnya. Aku pasti akan mikirin.” Jawabku dengan senyum kecil. “Ya, udah. Aku balik duluan, ya. Bye. Assalamu a’laikum.” Ucapnya sambil naik ke atas mobilnya. “Bye, wa’alaikum salam.” Balasku sambil melambaikan tangan padanya.
* * *
Perkataan Lia terus terngiang-ngiang di telingaku. Lia betul, aku seorang muslim. Tapi kenapa aku jarang sholat. Padahal sholat adalah tiang agama. Aku tiba-tiba merasa ada sesuatu yang mengganjal hatiku dengan perkataan Lia tadi. Aku terus saja berjalan lunglai menyusuri trotoar jalan. Otakku penuh dengan pikiran-pikiran yang aku rasa tak ada ujungnya.
Aku berhenti tepat di depan masjid di samping toko buku yang aku tuju. Masjid itu nampak sangat megah kutatap. Aku tiba-tiba merasa ada suatu getaran yang menarikku untuk memasuki masjid tersebut. Aku berhenti sejenak, dan mulai berfikir. Tuhan, apa ini yang namanya hidayah? Batinku galau. Baru kali ini aku merasakan perasaan seperti ini.
Suara azan berkumandang dari dalam masjid. Aku terkejut mendengarnya. Aku merasa aneh mendengar suara azan ini. Entah apa yang kurasa, selama ini aku selalu mendengar suara azan berkumandang. Tapi, azan kali ini terasa aneh. Seperti ada magnet yang berada dalam setiap ayat-ayat azan tersebut.
“Nak, kenapa diluar saja? Ayo, masuk. Kamu mau sholat, kan?” Tiba-tiba seorang wanita paruh baya mengacaukan lamunanku. “Eh, iya, bu. Saya mau sholat.” Jawabku sedikit tergagap. “Ayo!” Ajak Ibu tersebut lembut padaku. Aku memasuki masjid itu dengan perasaan aneh. Aku berhenti tepat di pintu masuk masjid itu. Seakan ada angin lembut yang menyapaku. “Kamu berwudhulah dulu. Tempat wudhu ada di sebelah sana!” Kata Ibu tadi sembari menunjukkan ruangan mirip kamar mandi di sebelah kananku.
Setelah melaksanakan shalat Ashar di masjid, aku seakan tidak ingin pergi dari mesjid itu. Aku merasa nyaman berada di dalamnya. Hatiku terasa tenang berada di dalam masjid ini. Aku terus berada di masjid hingga malam menjelang. Setelah Ayahku menelfonku, aku segera pulang.
* * *
“Lia, aku mau minta tolong padamu! Boleh?” Aku berusaha untuk minta pertolongon dari satu-satunya orang yang memperhatikanku. “Tentu saja boleh. Apa yang bisa kubantu?” Jawab Lia dengan senyum yang mengembang. “Aku mau kamu mengajariku agar bisa lebih paham tentang Islam.” Kataku mantap. “Apa? Islam? Kamu kenapa tiba-tiba ingin tau banyak tentang Islam?” Tanya Lia heran padaku. “Mendengar kata-katamu kemarin, aku seperti merasa kamu benar. Aku muslim, harusnya aku tau yang terbaik untukku agar aku bisa terhindar dari neraka.” Jawabku
“Hm, aku jadi senang mendengarnya. Aku pasti bantu kamu.” Ucap Lia dengan penuh semangat. “Thanks. Kamu satu-satunya yang memperhatikanku. Tapi, aku harap kamu jangan merasa terlalu dekat denganku. Aku tidak mau melihat air mata.” Kataku sembari beranjak meninggalkan Lia yang masih duduk di bangku perpustakaan. “Apa maksudnya?” Tanya Lia pada dirinya sendiri.
* * *
Sudah sebulan lebih aku terus mengikuti semua yang diajarkan oleh Lia. Aku merasa nyaman melakukannya. Hanya satu yang belum bisa kulakukan. Aku tidak bisa karena merasa belum pantas. Hingga kini aku merasa belum pantas memakai jilbab. Dengan berbagai dosaku selama ini, aku merasa tidak pantas memakai jilbab. Lia selalu membujukku untuk mengenakan jilbab. Tapi, aku terus saja menolak dengan alasan belum siap.
Tinggal sebulan lagi, sebelum aku kembali pindah rumah. Tapi, aku merasa belum siap pindah. Aku merasa tidak bisa mempertahankan Imanku sendirian. Aku membutuhkan seseorang seperti Lia yang bisa terus mengarahkanku. Kini, aku merasa sungguh membutuhkan seseorang. Seseorang seperti Lia.
“Ta, aku mau tanya sesuatu padamu.” Kata Lia seusai kami menunaikan sholat Dhuhur di musollah sekolah. “Tanya apa?” Jawabku tenang. “Kamu pernah berkata, kalau kamu melarangku untuk merasa terlalu dekat denganmu karena tidak ingin melihat air mata. Apa maksudnya?” Tanya Lia dengan sangat antusias. Aku lumayan terkejut mendengar pertanyaan Lia. Aku memang pernah mengatakannya, tapi kini aku yang merasa dekat dengan Lia. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menceritakan yang sesungguhnya?
“Itu… aku hanya tidak mau kamu merasa sedih saat harus berpisah denganku hanya karena sudah merasa dekat denganku. Karena aku yakin, perpisahan antara kita akan terjadi cepat atau lambat.” Jawabku sambil tertunduk. “Apa maksud kamu? Perpisahan apa? Sekolah masih ada satu semester, masih ada waktu cukup lama untuk kita bersama. Dan setelah lulus SMP pun kita masih bisa lanjut sekolah yang sama bukan?” Tanya Lia heran.
“Kamu akan tau jawabannya nanti. Aku tidak bisa memberi tahumu sekarang. Masih terlalu cepat. Aku mohon kamu jangan menganggapku special atau menganggapku sebagai teman dekat. Anggap saja aku seseorang yang hanya ingin mencari ilmu denganmu. Seseorang yang tidak penting untuk diingat. Aku mohon!” Kataku sambil berlalu ke kelas. “Tapi, Ta. Aku tidak bisa. Bagiku, kamu adalah seseorang yang sangat istimewa. Kamu seseorang yang bisa membuat ku bahagia. Aku seneng bisa dekat dengan kamu. Bagaimana mungkin aku anggap kamu hanya sebagai seseorang yang tidak penting?” Tanya Lia sembari mengejar langkahku yang kupercepat.
“Aku mohon sama kamu. Kamu teman yang baik, aku seneng bisa dekat dengan kamu. Tapi, aku tidak mau ada kesedihan disaat aku harus pergi. Jadi, aku minta agar kamu tidak menganggapku sebagai orang istimewa.” Aku berkata sambil membelakangi Lia. Aku tidak mau dia melihat mataku yang mulai membasah. Aku tidak mau melihat dia sedih. Dan aku tidak mau melihat dia khawatir.
* * *
Semenjak percakapanku dengan Lia hari itu, aku selalu berusaha menjauh dari Lia. Aku tidak mau dia merasa lebih dekat lagi di hari-hari terakhirku di sekolah ini. Tinggal tiga hari lagi sebelum aku pergi dari kota ini. Aku mulai mencoba memakai jilbab. Mulai hari ini, aku akan keluar rumah sambil membanggakan jilbab yang kukenakan sebagai simbol ke-Islamanku. Aku memakai jilbab agar aku bisa lebih dekat lagi dengan agamaku. Dan juga, agar aku bisa selalu mengenang Lia sebagai seseorang yang membuatku berubah seperti saat ini.
“Cinta, mulai sekarang siapkan seluruh barang-barangmu. Kita akan pindah tiga hari lagi. “Kata Ayahku tadi pagi. Kata-kata itu juga berarti aku harus berhenti sekolah mulai hari ini. Ayahku sudah mengirim surat permohonan agar aku diberi surat pindah dari sekolahku sekarang. Aku tidak akan bertemu lagi dengan sekolah itu. Aku juga tidak akan bertemu lagi dengan Lia. Rasanya sungguh berat. Tapi, ini adalah kenyataan yang harus kuhadapi. Aku harus kuat. Aku tidak mau melihat air mata.
* * *
Kenapa dua hari ini Cinta tidak datang, ya? Apa dia sakit? Aku harus kerumahnya besok. Batin Lia setibanya dirumah sepulang dari sekolah.
“Assalamu a’laikum. Cinta… Assalamu a’laikum…. Hm, kok seperti tidak ada orang, sih? Apa dia pindah? Ah, tidak mungkin dia pindah tidak memberi tahuku terlebih dahulu.” Kata Lia setibanya di depan rumah Cinta.
“Dek, apa kamu yang namanya Lia?” Tanya seorang wanita paruh baya yang sepertinya tetangga Cinta. “Eh, iya, bu. Ada apa, ya?” Tanya Lia heran. “Ini, ada titipan dari Cinta sebelum dia ke bandara tadi pagi.” Kata Ibu itu sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna biru tua dan sebuah kotak berpita biru tua.
Lia membuka surat itu perlahan. Aku tidak tahu apa maksud Ibu tadi. Cinta ke bandara? Apa yang terjadi? Aku tidak mau berpikir yang tidak-tidak. Aku yakin Cinta tidak mungkin meninggalkanku tanpa memberi tahuku dulu. Perlahan Lia membaca surat itu.
Kepada yang tersayang
Amalia
Assalamu a’laikum warahmatullahi wabarakatuh
Hay, Lia. Saat kamu baca surat ini aku pasti sudah ada di pesawat. Sorry, aku tidak memberi tahumu terlebih dahulu. Aku tidak sanggup harus memberi tahumu. Saat aku tulis surat ini, air mataku tidak dapat berhenti berkucuran. Aku merasa sangat berat harus berpisah dengan kamu. Kamu sekarang pasti bertanya, kenapa aku pindah dan kemana aku pindah.
Pekerjaan Ayahku menuntutku harus selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kamu pernah bertanya kenapa Ibuku bisa meninggal. Ibuku meninggal akibat kecelakaan kereta api saat kami pindah rumah dan saat itu usiaku baru 11 tahun. Sejak saat itu, aku terus mengikuti Ayahku berpindah-pindah. Makanya aku katakan padamu waktu itu, kalau antara kita pasti akan ada perpisahan.
Aku harap kamu mengerti, kenapa aku melakukan semua ini. Aku akan pindah ke Jogja. Tapi, aku tidak tahu nanti akan kemana lagi. Yang pasti, kamu harus tahu kalau aku tidak akan melupakanmu. Semua kenangan tentang kamu, akan selalu ada untuk kukenang. Oh, iya. Sekarang aku sudah mengenakan jilbab. Gimana? Kamu seneng, nggak? Dalam kotak yang aku berikan ada beberapa fotoku. Juga ada liontin berpasangan. Satu ada sama aku dan pasangannya untuk kamu. Simpan baik-baik,ya.
Ingat, kamu jangan sampai menitikkan air mata saat membaca surat ini. Karena aku tidak ingin ada air mata. Kamu harus janji sama aku. Apapun yang terjadi, kamu akan menjadi temanku yang terbaik. Dan juga, kamu harus janji kamu tidak boleh sedih. Aku tidak mau melihat air mata lagi dari sahabat ku. OK.. >_<
Dari temanmu
Cinta Putri Hermawan
“Ya, aku janji. Aku akan selalu menjadi teman terbaikmu. Aku akan berusaha untuk tidak menitikkan air mata lagi. Aku janji.” Kata Lia setelah membaca surat itu dan mendapatkan liontin dari Cinta. Kini ia paham apa maksud Cinta.
Hanya satu kalimat untuk Cinta dari hatinya yang terdalam, “ Terima Kasih sudah menjadi temanku yang sangat baik, Cinta.”